RSS
LUMPUR LAPINDO : HIPOTESA PENYEBAB DAN DAMPAKNYA
Oleh Nova D.S.M (12030654014), Khusnia K.J (12030654015), Eva Y.P (12030654025), Tsalis I.P(12030654048)

Gambar 1. Pusat Semburan Lumpur Lapindo
Sumber : www.bpls.go.id

Sekitar delapan tahun sudah, bencana semburan lumpur panas lapindo tak kunjung selesai. Bahkan sampai detik ini semburan tersebut masih aktif mengeluarkan material lumpur panas dari hasil letusan gunung lumpur yang berdampak pada tenggelamnya beberapa wilayah kecamatan di kabupaten Sidoarjo. Semburan lumpur panas lapindo pertama kali muncul pada tanggal 29 Mei 2006 di dekat sumur eksplorasi Banjarpanji-1 di Desa Renokenongo, Kecamatan Porong, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Semburan lumpur panas tersebut menyebabkan tergenangnya kawasan permukiman, pertanian, dan perindustrian di tiga kecamatan di sekitarnya, serta mempengaruhi aktivitas perekonomian di Jawa Timur. Semburan lumpur tersebut dikenal dengan nama LUSI yang memiliki singkatan Lumpur Sidoarjo.
Pada awal munculnya semburan, masyarakat menganggap bahwa semburan ini merupakan underground blowout dari sumur eksplorasi Banjarpanji-1 karena lokasi semburan terletak hanya 200 meter dari lokasi sumur Banjarpanji-1. Oleh sebab itu, berdasarkan anggapan tersebut dilakukan usaha menghentikan semburan lumpur dengan memakai metoda untuk mematikan underground blowout, meliputi metode bawah permukaan, yaitu: re-entry well (operasi snubbing unit), side-tracking well dan relief well, dan metode permukaan, yaitu dengan jalan memasukan rangkaian bola bola beton (High Density Chained Balls) ke dalam kawah semburan. Namun usaha-usaha tersebut tidak berhasil menghentikan semburan.
Rencana penutupan semburan berdasrkan hipotesa underground blowout dari sisi pengeboran dinilai sulit untuk diaplikasikan karena membahayakan keselamatan jiwa pekerja. Sedangkan untuk metoda relief well yaitu dengan membuat beberapa lubang bor sampai ke batuan yang berkondisi overpressure juga tidak layak dilakukan karena membahayakan keselamatan manusia.
Pada saat ini terdapat dua hipotesa tentang pemicu LUSI mud volcano yang telah dipublikasikan, yaitu hipotesa underground blowout dari sumur eksplorasi Banjarpanji-1 (Davies et. al 2007) dan hipotesa remobilisasi zona bertekanan tinggi (overpressured zone) melalui bidang sesar Watukosek berarah timur laut-barat daya yang tereaktifikasi oleh kenaikan aktifitas tektonik dan gempa (Mazzini et.al. 2007).
Davies et al (2007) menganggap bahwa pengeboran Banjarpanji-1 telah menembus karbonat Formasi Kujung dan campuran lumpur menyembur, terdorong keatas oleh tekanan pore fluid di Formasi Kujung. Hal ini berbeda dengan hipotesa Mazzini et al (2007) yang menyimpulkan bahwa air bertekanan tinggi berasal dari clay diagenetic dehydration di Formasi Upper Kalibeng berdasarkan data geokimia. LUSI mud volcano mengeluarkan  lebih dari 100.000 ton lumpur yang mengalir ke permukaan tiap harinya. Semburan tersebut selanjutnya  mengalami penurunan sepuluh kali lipat pada tahun-tahun berikutnya. Selama beberapa tahun, telah tercatat bahwa tanah di sekitar area semburan telah mengalami amblesan (subsidence) puluhan sentimeter sebagai akibat dari bahan dalam bumi yang terdorong ke atas dan keluar ke permukaan.  Namun, tingkat amblesan (subsidence)  tersebut telah menurun secara drastis, hal tersebut menjadi bukti yang menunjukkan bahwa LUSI mud volcano telah kehilangan kemampuan semburannya.



Gambar 2. Retaknya lumpur (crack)
dok.pribadi

Dari hasil observasi yang kami lakukan, tingkat deformasi geologi yang terjadi pada oktober 2014 menunjukkan penurunan yang cukup signifikan. Hal ini dibuktikan dengan masih kokohnya tanggul penahan luapan lumpur. Tetapi dalam hal ini, volume luapan lumpur cukup besar bahkan hampir menyamai tinggi tanggul penahan luapan lumpur, sebagian berupa lumpur kering dan sebagian lagi masih berupa cairan lumpur dengan bau menyengat. Kondisi lumpur kering masih bersifat labil dan menunjukkan retakan-retakan. Hal tersebut terjadi karena berhentinya aktifitas pembuangan lumpur ke kali porong dikarenakan adanya demo warga yang menuntut pembayaran ganti rugi korban lumpur lapindo yang masih belum terselesaikan.Adanya amblesan(subsidence)  tersebut merupakan salah satu bentuk deformasi geologi. Selain itu bentuk deformasi geologi lain akibat semburan lumpur yaitu berupa pengangkatan/naiknya permukaan tanah(uplift) serta retak dan pecahnya batuan(crack). Adanya beberapa bentuk deformasi geologi tersebut telah memberikan dampak yang luar biasa terhadap penanganan semburan dan penanggulangan luapan lumpur. Dampak pertama adalah terjadi diperiode awal semburan, diantaranya mengakibatkan turunnya muka jalan arteri Siring-Porong, bengkoknya rel kereta api, pecahnya pipa PDAM, pecahnya pipa pertamina, dan putusnya jembatan jalan tol. Dampak lainnya adalah amblesnya tanggul penahan lumpur yang berada disekitar pusat semburan, yang disebut dengan tanggul cincin, dan juga tanggul yang dibangun Bapel-BPLS untuk menahan lumberan lumpur disekitar area terdampak.  Crack dan subsidence mengenai tanggul penahan luapan lumpur, sehingga mengancam daerah diluar area peta terdampak. Crack berkembang didaerah Siring Barat dan Renokenongo. Sedangkan dinamika perkembangan subsidence paling cepat kearah Desa Siring Barat.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kami simpulkan bahwa upaya untuk mematikan LUSI mud volcano dengan metode bawah permukaan dan metode permukaan tidak bisa diaplikasikan, dan solusi terbaik untuk menangani masalah lumpur adalah tetap mengembalikannya ke tempatnya semula, yaitu mengalirkannya ke Selat Madura melalui Kali Porong.


0 komentar:

Posting Komentar